FAKTAMEDIA.NET - Pemerintah melalui Kemenkum HAM baru saja mengumumkan pencabutan status Badan Hukum organisasi HTI. Melalui tangan Kemenkum HAM, HTI akhirnya dinyatakan tidak boleh hidup di Indonesia.
Sejauh ini, pemerintah tidak menunjukkan bukti riil kepada masyarakat bahwa HTI adalah organisasi anti-Pancasila. Dan kebijakan pemerintahan Joko Widodo ini disebut-sebut telah menerabas dan melanggar konstitusi. Meski dikecam dan dikritik tajam, nyatanya pemerintah lebih memilih bersikap masa bodo.
Kemudian, kasus kedua yang juga diduga melanggar konstitusi ialah ambisi pemerintahan Joko Widodo menetapkan ambang batas presiden (presidential threshold) 20 persen. Dengan kekuatan parpol koalisi pemerintah seperti PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PKB dan PPP, Joko Widodo yakin usulan itu lolos di DPR. Dan kalau skema yang digunakan di DPR melalui mekanisme voting, di atas kertas presidential threshold 20 persen pasti lolos.
Sejumlah pengamat, ahli dan pakar kenamaan nasional tak sedikit yang mengkritisi presidential threshold 20 persen. Refly Harun misalnya, pakar hukum dan tata negara ini menyebut presidential threshold 20 persen melanggar putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 14/PUU-XI/2013 yang mengatur pemilu serentak 2019. Kepada Kumparan, Refly mengatakan PT sebesar 20 persen tidak ada dasarnya. Dan kalau dasarnya hasil Pemilu 2014, itu tidak dapat dipakai. “Kalau dasarnya pemilu legislatif 2019 baru mungkin (dipakai). Masalahnya, kata dia, pemilu serentak Pileg dan Pilpres di tahun 2019. “Jadi tidak logis menjadikannya dasar. Pemilu presiden 2019 tidak bisa menjadikan hasil pemilu 2014 sebagai dasar,” kata Refly.
Begitu pula peneliti LIPI, Syamsuddin Haris. Pendapatnya di laman Sindo mengatakan bahwa presidential threshold 20 persen sudah tidak lagi relevan. Baginya, presidential threshold (20 persen) hanyalah upaya untuk mendikte Pilpres 2019 dengan perolehan suara atau kursi di parlemen 2014 silam. Kalau ini digunakan sebagai syarat Pilpres 2019, adalah sebuah penyimpangan.
“Konsekuensinya pencalonan presiden tidak boleh didikte hasil pemilu parlemen. Bagi saya ambang batas pencalonan presiden adalah sesuatu yang sifatnya anomali menyimpang dalam sistem presidensial. Bukan hanya berlaku ketika pileg dan pilpres serentak, tapi juga berlaku jika tidak diserentakkan,” kata Syamsuddin.
Lebih lanjut, indikasi presidential threshold 20 persen melanggar konstitusi juga disampaikan Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini. Kepada Nusantaranews, Titi mengatakan bahwa meski dibuat 1% sekalipun akan tetap mendapatkan tanggapan dari pihak-pihak yang menganggap bahwa presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 atau inkonstitusional.
Sementara itu, salah satu alasan pemerintah ngotot dengan wacana presidential threshold 20 persen adalah hasil pemilu 2014 yang dinilai baik.
Di lain pihak, wacana ini juga disebut-sebut skenario yang dirancang parpol koalisi pemerintah untuk membuat calon tunggal pada Pilpres 2019 serta mengkerdilkan partai-partai kecil. Jadi, benarkah pemerintah kembali membuat kebijakan yang melanggar konstitusi?
Editor: Eriec Dieda